Dilemma
Sejak mendapatkan status Permanent Resident enam bulan lalu, saya merasa hidup di antara dua realitas yang bertolak belakang. Di satu sisi ada Australia, negara yang menjamin hak pekerja dan tempat saya dibentuk oleh prinsip freedom of speech selama tujuh tahun. Di sisi lain ada pekerjaan cash in hand yang saya jalani, tempat hak dasar dibungkam oleh ultimatum dan tekanan.
Konflik pertama muncul saat kami berjalan menuju rumah berikutnya setelah menyelesaikan rumah pertama. Cuacanya biasa saja, tetapi panasnya benturan ideologi jauh lebih terasa. Seorang teman sekerja yang saya tahu masih berstatus visa turis dan secara hukum tidak boleh bekerja menceritakan pekerjaan keduanya dengan bangga. Ia berkata bahwa mendapat delapan belas sampai dua puluh dolar per jam secara cash in hand itu sudah sangat banyak dan dianggap normal. Kepuasan itu muncul dari logika yang keliru karena ia menerima semuanya bersih tanpa pajak dan tetap bekerja secara ilegal.
Saat saya menjelaskan bahwa upah seperti itu ilegal dan jauh di bawah Upah Minimum Nasional Australia yang kini mencapai dua puluh empat dolar sembilan puluh lima sen per jam, ia dan teman lain langsung menyerang balik. Mereka berdua mendukung pandangan itu sehingga saya benar benar terpojok. Mereka berkata bahwa kerja cash in hand memang seperti itu dan intinya tinggal diterima atau ditolak. Pernyataan “jangan banyak tingkah” itu seolah menuntut saya memakai pola pikir survival pekerja tanpa izin kerja yaitu pasrah, diam, dan bersyukur atas sisa upah. Beruntung kami sudah tiba di rumah kedua sehingga obrolan itu berhenti, tetapi dampaknya masih terasa sampai malam ketika saya membahasnya dengan Sinyo.
Konflik berikutnya terjadi di pekerjaan saya sendiri. Upah saya memang lebih baik yaitu dua puluh lima dolar per jam, tetapi tetap dalam skema cash in hand yang menghilangkan hak formal termasuk Superannuation. Atasan saya memberikan ultimatum singkat bahwa pekerjaan ini cash in hand dan tinggal memilih mau atau tidak. Saya mencoba melakukan negosiasi kecil untuk meminta tambahan upah sebagai kompensasi hilangnya hak, tetapi permintaan itu tidak direspons.
Di tengah tuntutan finansial yang mendesak, saya menolak tenggelam dalam kepahitan. Saya tetap mempertahankan pekerjaan sebagai relawan di perpustakaan setiap hari Senin. Although it is unpaid, I truly feel this volunteer work keeps me sane because it aligns with my passion. Justru pekerjaan sukarela inilah yang paling memberi kekuatan bagi jiwa saya.
Pekerjaan cash in hand ini hanyalah batu loncatan. Dengan status Permanent Resident saya seharusnya bisa mendapat pekerjaan yang jauh lebih baik, tetapi kenyataannya finding a decent job is not easy bagi seseorang yang belum memiliki pengalaman kerja formal seperti saya. Karena itu saya menjadikan pekerjaan ini sebagai pelajaran sekaligus pengalaman. Pelajaran untuk memperkuat tekad agar saya bisa mendapatkan pekerjaan yang benar benar legal dan compliant yang memberi upah sesuai Award, menyediakan Superannuation sebagai bekal masa depan, dan memenuhi hak pekerja lainnya. Saya memilih untuk menolak mentalitas diam saja yang menormalisasi eksploitasi. Saya akan terus maju mencari pekerjaan yang menghargai status Permanent Resident dan prinsip saya.



Comments