A PR's Dilemma


The Gap Between Principle and Paycheck

Selama tujuh tahun terakhir, saya terbiasa dengan lingkungan yang sangat menjunjung tinggi prinsip freedom of speech. Pengalaman ini membentuk saya menjadi pribadi yang terbiasa dan terbuka dalam mendiskusikan berbagai hal secara kontekstual.

Konflik mulai muncul ketika saya mengajukan pertanyaan mengenai hak-hak dasar saya sebagai pekerja, terutama terkait superannuation. Atasan saya memberikan respons singkat, menjelaskan bahwa pekerjaan ini cash on hand, yang berarti sistem super tidak diterapkan. Ia lantas memberikan ultimatum: "Jadi kamu mau atau tidak?"

Meskipun saya sempat mengajukan negosiasi kecil meminta agar gaji saya ditambah, permintaan tersebut hanya dijawab dengan diam dan tidak pernah direspons hingga saat ini.

Namun, tekanan terbesar datang dari teman yang merekomendasikan saya. Sikapnya sangat meremehkan dan defensif. Ia menyiratkan bahwa saya asking too many questions dan bahkan menekan, mengatakan, "Sebaiknya kamu diam saja, kamu belum bekerja sudah terlalu banyak tanya."

Tekanan ini diperberat dengan pernyataan yang bernada utang budi: "Kalau bukan gw lw belum tentu diterima disini. Udah deh diam aja!"

I was completely blindsided by her reaction; this is truly unfair. Perkataan ini tidak hanya mengecilkan, tetapi juga membuat saya merasa terpojok karena mempertanyakan hak yang seharusnya saya terima. Sebagai orang yang ditolong dia meminta saya yang membawa tas berisi kebersihan setiap hari. Saya ok saja mendorong tas naik public transport walau saya tau merasa dimanfaatkan. 

Dengan upah yang sangat minim, hanya sekitar $22.5 per jam, ini adalah situasi "a bit rough". Di satu sisi, saya terjebak dalam kebutuhan finansial mendesak; di sisi lain, hati saya berteriak menolak ketidakadilan upah dan kondisi kerja ini.

Meskipun demikian, di tengah tuntutan finansial ini, saya tetap mempertahankan pekerjaan sebagai relawan di perpustakaan setiap hari Senin. Although it’s unpaid, I truly feel this volunteer work helps keep me sane because it aligns with my passion.

Menyadari bahwa dengan status Permanent Resident (PR) di Australia saya seharusnya dapat memperoleh pekerjaan yang jauh lebih baik dan sesuai standar, realitanya "finding a decent job is not easy" bagi seseorang yang belum memiliki pengalaman kerja formal seperti saya.

Saya dihadapkan pada pilihan yang jelas: "Take it or leave it." Dan karena kebutuhan finansial yang mendesak, I have no choice but to take the gig, meskipun harus mengorbankan hak dan rasa keadilan. Inilah pilihan pahit dan dilema besar yang saat ini saya hadapi.

Comments

Popular Posts