Mengubah Pola Pikir Untuk Bertahan
Ketika saya memutuskan untuk menetap di Melbourne hampir 9 tahun yang lalu, saya tidak membayangkan betapa besar kejutan budaya yang akan saya hadapi. Ritme hidup di sini terasa begitu berbeda. Orang-orang berbicara lugas, bergerak cepat, dan memiliki kebiasaan yang sepenuhnya baru bagi saya.
Salah satu benturan terbesar yang saya rasakan adalah soal kebebasan berbicara (freedom of speech). Di sini, orang terbiasa mengatakan sesuatu secara langsung, bahkan jika terdengar tajam. Tidak ada banyak basa-basi. Saya yang dibesarkan dengan budaya kesantunan sering kali terkejut, dan kadang sakit hati, walaupun sebenarnya mereka tidak bermaksud begitu. Dari situ saya belajar bahwa saya sendirilah yang harus menyesuaikan diri.
Lebih sulit lagi karena lingkungan saya didominasi oleh orang-orang asing, dan itu memaksa saya untuk berani. Saya harus belajar percaya diri, belajar membuka suara, dan belajar memahami gaya komunikasi yang berbeda dari budaya saya sendiri.
Saya masih ingat, waktu itu satu-satunya orang Indonesia yang dekat dengan saya hanyalah pasangan saya. Tetapi meskipun ia Indonesia secara fisik, cara berpikir dan cara bicaranya sudah seperti orang lokal. Ia tumbuh besar di negara ini, hampir seluruh hidupnya dihabiskan di Melbourne. Jadi saat saya ingin mencari teman senegara, saya tetap tidak merasakan kenyamanan “serumah” yang biasanya saya temui ketika bertemu sesama orang Indonesia.
Tulisan ini sebenarnya bermula dari pengalaman sederhana: saya membaca curhatan seorang teman yang baru pindah ke Melbourne untuk mencari rejeki. Ia meninggalkan pekerjaannya sebagai guru selama tiga puluh tahun dan memilih bekerja sebagai pemetik buah. Dengan bahasa Inggris yang tidak begitu bagus, dengan visa turis, dan meninggalkan keluarganya demi kehidupan yang lebih baik bagi mereka di Indonesia, ia datang dengan keberanian yang besar. Saya kagum dengan langkah hidupnya.
Namun ada satu kalimat yang membuat saya berhenti membaca dan merenung. Ia menulis bahwa tidak ada seorang pun yang membantu dia di sini. Kalimat itu terasa sangat familiar. Karena dulu, saya pun pernah merasa seperti itu. Perasaan sendiri. Perasaan ditinggalkan. Perasaan bahwa orang lain terlalu sibuk untuk peduli.
Setelah bertahun-tahun tinggal di sini, saya mengerti satu hal penting: pola pikir itulah yang harus kita ubah. Tinggal di luar negeri menuntut kemandirian penuh.
Bukan karena orang tidak mau membantu, tetapi karena setiap orang di sini menjalani hidup yang padat, penuh tanggung jawab, dan penuh prioritas. Di negara seperti ini, kita tidak bisa menunggu pertolongan datang. Kita harus bertanya. Kita harus mencari informasi. Kita harus bergerak lebih dulu dan tidak malu belajar dari lingkungan baru.
Semua ini adalah bagian dari culture shock yang hampir pasti dialami siapa pun yang merantau. Mulai dari makanan yang berbeda, cuaca empat musim, etika sosial yang lebih individual, privasi yang sangat dijunjung tinggi, hingga gaya komunikasi yang begitu berbeda dari negara asal kita.
Pada akhirnya, yang membuat saya bertahan di negeri orang adalah kesiapan untuk berubah dan kemauan untuk belajar, bahkan ketika saya merasa sendirian.

Comments