Saya tiba dua puluh menit lebih awal dari janji, dan menemukan diri saya sendirian di jalan masuk Fitzroy Gardens. Tak ada orang lain di sisi ini, dan taman terasa begitu sunyi. Langit sudah berwarna kelabu pekat, memayungi taman dengan nuansa melankolis. Angin dingin berdesir, membawa daun-daun kuning yang berguguran menari-nari sebelum akhirnya berserakan di jalan.
Di sekeliling saya, pohon-pohon menjulang tinggi, sebagian besar tanpa sehelai daun pun. Batangnya tampak kokoh dan telanjang, menciptakan pemandangan yang sendu namun dramatis. Suasana taman begitu lengang, seolah menahan napas dalam kesunyian musim dingin. Saya melihat ke kanan, dan di antara dedaunan yang menipis, terlihatlah bangunan Hotel Pullman. Saya pun mengirim pesan pada Bu Ermi, mengabarkan bahwa saya sudah sampai.
Meski telah tinggal di Melbourne sejak 2018 dan kerap melewatinya, baru kali inilah saya benar-benar melangkahkan kaki ke dalamnya. Kamis yang mendung, dengan daun-daun kuning musim dingin yang berguguran, sungguh berbeda dari sekadar melihatnya dari luar. Aroma tanah basah, dan siluet pohon-pohon tua menciptakan suasana yang menenangkan. Bu Ermi tak salah memilih tempat ini untuk bertemu, karena di setiap sudutnya, taman ini menyimpan cerita dan keajaiban.
Saya melangkah perlahan, melewati bangku-bangku besi tua yang berdiri sendiri, kosong, dan diam, seperti menyimpan cerita-cerita yang tak terucapkan, menunggu seseorang untuk singgah dan menghidupkan kembali kenangan di sana.
Deretan pohon-pohon tinggi dengan batang kekar dan cabang-cabang telanjang yang membentuk siluet dramatis. Tanpa daun-daun lebat, cahaya matahari sesekali menembus celah-celah dahan, menciptakan bintik-bintik emas di tanah basah. Aroma tanah dan lumut menguar, menciptakan sensasi seperti berada di hutan purba, hanya saja kali ini, hutan yang sedang tidur. Pepohonan di sini terasa begitu tua, seolah menyimpan cerita ribuan tahun dalam setiap serat kayunya.

Sulit membayangkan kalau taman seindah Fitzroy Gardens yang kita kenal sekarang, dengan hamparan hijau dan pepohonan rindang, dulunya hanyalah lahan rawa-rawa becek! Ya, sebuah lanskap yang jauh dari kata menawan, lengkap dengan anak sungai kecil yang mengalir menuju Sungai Yarra. Jauh sebelum Melbourne berdiri gagah, kawasan ini adalah surga berburu dan memancing bagi suku Wurundjeri, penjaga tanah asli yang hidup menyatu dengan alam di sini. Mereka adalah pionir sejati yang memahami setiap lekuk dan ritme tanah ini.
Semuanya mulai berubah pada tahun 1848. Lahan rawa ini resmi ditetapkan sebagai cadangan publik dan diberi nama Fitzroy Square, sebagai bentuk penghormatan kepada Sir Charles Augustus Fitzroy, Gubernur New South Wales kala itu. Tapi jangan bayangkan taman yang cantik ya. Saat itu, tempat ini masih jadi semacam hutan belantara kecil: penuh semak liar, tanah yang selalu basah, dan sisa-sisa rawa.
Namun, titik baliknya datang pada tahun 1857. Saat itulah ide besar untuk mengubah rawa ini menjadi sebuah mahakarya hijau mulai tumbuh, dan sosok kunci di baliknya adalah Clement Hodgkinson. Sebagai Wakil Kepala Dinas Pertanahan yang memiliki pandangan jauh ke depan, ia dipercaya untuk merancang masa depan taman. Hodgkinson tidak sendiri; ia ditemani oleh James Sinclair, kepala tukang kebun yang sama visioner dan berdedikasi. Bersama-sama, mereka mulai menyulap lahan yang dulunya becek dan liar itu menjadi taman yang indah, teratur, dan mengundang decak kagum siapa saja yang melihatnya.
Hodgkinson terinspirasi berat dari gaya taman Inggris dan Eropa Victoria yang sedang populer di zamannya. Ia membayangkan Fitzroy Gardens sebagai sebuah hutan kecil yang rimbun lengkap dengan jalur-jalur berliku yang seolah memanggil siapa pun untuk berjalan santai dan menikmati semilir angin sejuk. Filosofinya sangat sederhana namun mendalam: menciptakan ruang hijau yang tenang, sebuah oase pelarian sempurna dari hiruk pikuk kota Melbourne yang terus tumbuh dan berkembang. Dan lihatlah sekarang, visinya benar-benar terwujud, menjadikan Fitzroy Gardens salah satu paru-paru kota yang paling dicintai!


Dan hari ini, lebih dari satu abad kemudian, mimpi itu masih hidup bukan hanya dalam bentuk pepohonan dan jalan setapak, tapi juga dalam perasaan damai yang muncul saat langkah kaki membawa saya lebih jauh lagi melangkah dan berbelok kearah taman yang lebih terbuka. Disini pohonnya lebih pendek mungkin belum setua pohon dijalan yang tadi. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah lembab dan dedaunan tua.
COOKS'S COTTAGE - CAPTAIN COOK'S COTTAGE
Tiba-tiba, pandangan saya tertumbuk pada sebuah pondok mungil yang sangat cantik seolah seperti saya berada di pedesaan di Inggris. .Rumah bertembok batu dengan taman kecil tampak tertata rapi. Di samping rumah, seorang perempuan berdiri mengenakan pakaian abad ke-18, sedang merajut sambil tersenyum pelan kepada para pengunjung yang lewat. Seakan saya melangkah berada dimasa lampau.
Rumah siapakah ini?
Begitu mendekat, barulah saya tau bahwa ini adalah Cooks' Cottage, Pondok berusia lebih dari 260 tahun yang dulunya adalah rumah orang tua dari Kapten James Cook di Yorkshire, Inggris. Rumah itu dibongkar satu per satu kemudian dibawa melintasi lautan. dan dipasang kembali di Fitzroy Gardens sebagai hadiah untuk kota Melbourne dalam rangka perayaan seratus tahunnya pada tahun 1934. Meskipun Kapten Cook tidak pernah menginjakkan kaki di Victoria, pondok ini menjadi jembatan sejarah antara Inggris dan Australia.
Harga tiket masuknya sebenarnya cukup terjangkau: $7.70 untuk dewasa, $5.80 untuk pemegang konsesi, $4.20 untuk anak-anak (usia 5–15 tahun), dan $20.70 untuk satu keluarga. Namun hari itu, saya memutuskan untuk tidak masuk dan memilih mengintip dari jendela kecil yang terbuka.
Imajinasi saya langsung dibawa mundur ke abad ke-18. Saya bisa membayangkan bagaimana orang tua Kapten Cook, James dan Grace Cook, menjalani kehidupan mereka di sini. Rumah pedesaan Inggris yang sederhana namun hangat. Ibunya sedang merajut dan ayahnya bekerja di kebun karena saya perhatikan diluar pondok ada taman namun tidak terlalu jelas kelihatannya. Lain kali saya akan membeli tiket supaya tidak penasaran lagi dengan pondok cantik itu.

Di samping Cooks' Cottage yang mungil dan bersejarah, berdiri sebuah pohon besar, Pohon English Oak. Matahari menerobos masuk melalui daun-daun nya yang rimbun, cabangnya kokoh dan terbuka lebar, seolah ingin memayungi siapa pun yang lewat di bawahnya.
Pohon ini bukan sembarang pohon. Diperkirakan usianya sudah lebih dari 150 tahun, ditanam sejak pertengahan abad ke-19, ketika Fitzroy Gardens mulai dirancang sebagai taman kota. Keberadaannya sejalan dengan visi masa itu: menghadirkan lanskap yang teduh, matang, dan bernuansa Eropa klasik.
English Oak dikenal karena ketahanannya bisa hidup ratusan tahun, dengan kayu yang kuat dan padat, serta perannya sebagai rumah bagi berbagai jenis burung dan serangga. Tapi di taman ini, ia menjadi lebih dari sekadar elemen alam. Ia adalah saksi diam dari begitu banyak momen: dari proses pemindahan Cooks' Cottage pada 1934 hingga langkah kaki pengunjung yang tak terhitung jumlahnya.
Hari itu, saya berdiri di bawah naungannya, menunggu Bu Ermi sambil melihat sekelompok turis yang tengah berkumpul di depan pondok, mendengarkan pemandu wisata yang bercerita panjang lebar.
Sebuah pesan masuk, disertai foto. Ternyata dari Bu Ermi.
"Saya ke Ibu dulu yaa, sambil foto-foto juga 😂 jadi agak lama."
Saya tertawa kecil membaca pesannya. Ah, saya pun pasti akan melakukan hal yang sama, berhenti sejenak, mengambil gambar. Taman ini memang terlalu cantik untuk dilewati tanpa diabadikan.
Saat saya melangkah, pandanganku terpaku pada dua sosok yang sedang berfoto tidak jauh dari gerbang. Mereka mengenakan jilbab, dan sontak terbesit di pikiranku, "Ah, sepertinya orang Indonesia," meskipun bisa juga mereka dari Malaysia, pikirku sambil tersenyum geli. Saat aku melewati mereka, ibu itu tiba-tiba menoleh dan melemparkan senyum hangat padaku. Senyumnya tulus, memancarkan keramahan yang akrab, seperti sapaan dari kampung halaman di tengah kota asing. Sebuah interaksi kecil yang terasa begitu menyenangkan.
Tak lama setelah itu, dari kejauhan, saya melihat seorang perempuan berjalan ke arahku. Tiba-tiba, ia melambaikan tangan. Saya mengerutkan kening, memperbaiki kacamata, mencoba mengenali siluetnya. "Astaga, itu Ibu Ermi!"
"
Sudah kemana aja, yuk kita jalan!" ajak Bu Ermi, suaranya ceria.
Kami pun melangkah bersama, menikmati suasana taman yang asri.
"Saya selalu membawa turis kemari, jika ada keluarga yang datang dari Indonesia pasti saya ajak kesini", katanya.
Baru beberapa langkah, pandangan kami tertumbuk pada sesuatu yang
menarik di bawah sebuah pohon, burung-burung. Tanpa pikir panjang, Bu Ermi
langsung berjongkok, mengambil posisi, lalu mengarahkan ponselnya untuk
memotret. Gerakannya cepat dan lincah, seperti fotografer profesional yang tak
mau kehilangan momen.
Keren!

Yuk kita ke Conservatory!, ajak Bu Ermi.
THE CONSERVATORY
Sebuah bangunan megah bergaya Spanish Mission tampak mencuri perhatian, The Conservatory. Dindingnya yang berwarna krem ke peach memantulkan cahaya lembut pagi itu, mempertegas keanggunannya yang telah berdiri sejak 13 Maret 1930. Di tengah taman yang dingin dan berangin, bangunan ini tampak seperti rumah musim semi yang hangat dan mengundang.
Tepat di depannya terbentang sebuah kolam tenang, tempat beberapa burung kecil sedang bermain air, mencelupkan kepala mereka seolah menikmati segarnya pagi. Di tengah kolam itu berdiri Conservatory Fountain, sebuah patung perunggu bergaya klasik yang dinamakan Boy with Serpent.
Patung ini menggambarkan seorang anak laki-laki telanjang, sedang berdiri sambil menggenggam seekor ular yang melingkar, dengan ekspresi wajah tenang dan tak terkejut. Patung ini sebenarnya merupakan tiruan dari karya pematung Italia abad ke-16, Giambologna, yang menggambarkan kemenangan dan dominasi atas sesuatu yang membahayakan dalam hal ini, si anak yang dengan berani dan tenang mengendalikan seekor ular. Di antara taman-taman penuh keindahan, patung ini seolah menyelipkan pesan tentang keberanian dan kendali di tengah harmoni.
Kami masuk ke dalam Conservatory melalui pintu kecil di belakang kolam, dan seketika suasana berubah drastis. Dari udara luar yang dingin, berangin, dan langit yang kelabu khas musim dingin Melbourne, kami melangkah ke dalam ruang hangat yang dipenuhi aroma lembap tanaman tropis. Rasanya seperti menyeberang ke dunia lain seperti pulang sebentar ke tanah air.
Di dalam, hanya ada dua jenis bunga yang sedang mekar, tetapi kehadirannya sungguh mencuri perhatian dengan warna dan bentuk yang elegan. Selebihnya adalah tanaman-tanaman tropis rimbun: daun lebar yang berkilau, batang ramping yang menjulang, serta tanaman merambat yang menjuntai dari dinding dan langit-langit kaca. Kata Bu Ermi beberapa waktu lalu tempat ini penuh dengan bunga tulip beraneka warna.
Di tengah ruangan, sebuah kolam kecil menjadi pusat keseimbangan, dihiasi dengan jenis bunga yang berbeda saat kami masuk tadi . Airnya jernih dan tenang, memantulkan warna hijau dedaunan dan cahaya yang menembus dari atas. Suara gemericik air berpadu dengan keheningan lembut, menciptakan suasana yang begitu menenangkan. Di luar masih musim dingin, tapi di dalam sini terasa seperti potongan tropis dari negeri lain, hangat, hidup, dan penuh ketenangan.
Setelah beberapa saat menikmati keheningan di dalam, kami melangkah keluar melalui pintu yang lain, menuju taman terbuka yang tak kalah indahnya.
Saya tidak menyangka akan menemukan sebuah kolam lain disisi lain Conservatory. Dan di tengah kolam itulah berdiri patung seorang perempuan anggun memegang busur, ditemani dua anjing pemburu yang setia, Diana and the Hounds.
Diana adalah dewi perburuan dalam mitologi Romawi, yang merupakan versi Latin dari Artemis, dewi dari mitologi Yunani. Keduanya dikenal sebagai sosok perempuan yang kuat, bebas, dan selalu dekat dengan alam. Dalam banyak cerita klasik, Diana (Artemis) digambarkan membawa busur dan panah, ditemani anjing-anjing pemburu, menyusuri hutan dan pegunungan.
Patung Diana and the Hounds adalah karya seniman Australia, William Leslie Bowles. Ia ingin menciptakan gambaran yang abadi tentang Diana dalam sosok perunggu yang tidak hanya cantik, tapi juga kuat dan hidup.
Tahun 1939, cetakan patungnya selesai dan dikirim ke A.B. Brunton & Sons di London untuk dicor menjadi perunggu. Tapi dunia sedang berubah. Perang Dunia Kedua meletus. Di tengah kekacauan global, patung Diana justru menjadi salah satu patung terakhir yang dicor di Inggris sebelum semuanya berhenti karena perang.
Perjalanan pulangnya ke Australia pun tak kalah dramatis. Ia harus naik kapal dan menyusuri lautan yang penuh ancaman kapal selam Jerman. Tapi seperti tokoh yang diwakilinya, patung ini bertahan. Pada 4 September 1940, ia tiba dengan selamat dan diresmikan di Fitzroy Gardens.
Didepan kolam berderat aneka bunga cantik. Saya jadi teringat....
Bunga-bunga disini sama percis seperti di Melbourne Town Hall bu.
Ternyata taman dan area hijau didaerah ini dikelola langsung oleh City of Melbourne, dan mereka sengaja menyamakan tampilan bunga-bunga di berbagai titik kota. Tujuannya selain mempercantik kota, juga untuk menghadirkan rasa nyambung dan serasi, dari satu sudut kota ke sudut lainnya.

Kami meninggalkan Conservatory melewati sekelompok turis yang sedang asyik berfoto. Suara obrolan samar-samar terdengar dan telinga saya menangkap untaian bahasa Indonesia yang familiar.
Sambil berjalan Bu Ermi memluai cerita pertualanannya menemani suami.
"Mau mulai darimana?" katanya tertawa.
"Kami pernah tinggal di Hong Kong"
Kebetulan sekali, tadi pagi saya sempat membaca tentang kebiasaan orang Hong Kong dalam berbicara yang sering terdengar seperti berteriak atau marah, juga ketidaksukaan mereka jika kita memegang barang jualan tanpa berniat membeli. Ternyata, menurut Bu Ermi, memang benar itulah yang terjadi di sana. Pengalaman-pengalaman seperti ini membuat saya hanyut dalam cerita Bu Ermi, seolah ikut merasakan bagaimana dia balik mengomeli penjual durian.
THE MODEL TUDOR VILLAGE
Di tengah asyiknya perbincangan, langkah kami berhenti di bagian lain dari taman yang tak kalah menarik. Mata saya tertuju pada rumah-rumah mungil yang tertata rapi. Ternyata rumah mini ini adalah The Model Tudor Village, salah satu sudut paling unik dan penuh cerita di Fitzroy Gardens.
Miniatur ini adalah replika desa Inggris bergaya Tudor dari abad ke-16, lengkap dengan rumah tukang roti, toko kecil, gereja mungil, bahkan istana mini. Gaya arsitektur Tudor berkembang pada masa Dinasti Tudor adalah dinasti kerajaan Inggris yang berkuasa dari tahun 1485 hingga 1603. Ciri khasnya mudah dikenali: dinding setengah kayu gelap yang mencolok, dipadukan dengan plester putih, atap curam dan runcing, cerobong besar, serta jendela kecil bertingkat. Meskipun hanya dalam versi miniatur, seluruh bangunan di desa ini tetap merefleksikan keanggunan dan kehangatan khas arsitektur pedesaan Inggris masa itu.
Desa kecil nan indah ini merupakan hasil karya Edgar Wilson, seorang pensiunan bankir dari Lambeth, London. Pengerjaannya dimulai di penghujung masa Perang Dunia II, dan membutuhkan waktu hampir dua tahun untuk menyelesaikannya. Dengan penuh ketekunan dan cinta, Wilson mengukir serta merakit seluruh bagian desa miniatur ini menggunakan kayu dan bahan-bahan sederhana. Meski bukan seorang seniman profesional, hasil karyanya menunjukkan dedikasi dan ketelitian luar biasa.
Miniatur ini bukan sekadar hasil kerajinan tangan, tetapi juga simbol terima kasih dari rakyat Inggris kepada warga Melbourne, atas bantuan makanan dan dukungan yang diberikan Australia selama masa-masa sulit setelah perang. Uniknya, proyek ini dibuat secara sukarela—tanpa bayaran apa pun. Semua dikerjakan murni sebagai tanda persahabatan dan niat baik, yang menjembatani dua bangsa dari belahan dunia yang berbeda.
Akhirnya, hadiah istimewa ini dikirim oleh Dewan Kota Lambeth dan tiba di Melbourne pada tahun 1948. Sejak saat itu, desa mungil ini menetap di pojok tenang Fitzroy Gardens, menjadi salah satu sudut favorit para pengunjung. Di balik bentuknya yang kecil dan lucu, tersimpan pesan besar: bahwa kebaikan dan ketulusan hati dapat menjelma menjadi sesuatu yang indah, hidup, dan abadi.
Setelah puas melihat The Model Tudor Village, tidak jauh darisitu tmata saya tertumbuk pada sebuah pohon tua yang tampak begitu mencolok di antara pepohonan lainnya. Batangnya besar dan tebal, penuh lekukan unik seperti pahatan alam, namun ada sesuatu yang berbeda. Saya mendekat dan barulah saya menyadari, pohon ini bukan pohon biasa. Ada ukiran di sana. Bukan satu atau dua, tapi banyak. Karakter-karakter mungil, hewan, wajah-wajah kecil yang seperti sedang tersenyum. Saya belum pernah melihat pohon seperti ini sebelumnya.
THE FAIRIES' TREE
Ternyata, inilah The Fairies’ Tree. Sebuah karya seni yang luar biasa, penuh detail yang nyaris terasa seperti pintu menuju dunia dongeng.
Pohon ini dulunya adalah River Red Gum yang telah mati, diperkirakan berusia lebih dari 300 tahun. Namun justru setelah mati, pohon ini dihidupkan kembali oleh imajinasi dan ketekunan seorang seniman perempuan luar biasa asal Melbourne, Ola Cohn yang lahir pada tahun 1892.

Ola Cohn adalah pematung dan penulis yang mendedikasikan hidupnya untuk seni dan pendidikan anak. Ia memahat pohon ini selama tiga tahun (1931–1934), seorang diri dan tanpa bayaran, sebagai hadiah bagi anak-anak kota Melbourne untuk merayakan seratus tahun berdirinya Negara Bagian Victoria. Semua ukiran dikerjakannya dengan penuh cinta bukan hanya sebagai karya seni, tetapi sebagai tempat yang bisa membangkitkan imajinasi dan harapan.
Pohon itu kini dihuni oleh pahatan peri, kurcaci, gnome, elf, serta hewan-hewan asli Australia seperti koala, kanguru, kookaburra, possum, dan lainnya. Semua bentuknya tidak ditempel atau ditambahkan, melainkan diukir langsung pada batang pohon yang besar itu, menyatu dengan alur dan lekuk alami kayu tua. Bentuk-bentuk itu muncul seperti diam-diam tumbuh dari dalam kayu diam, namun hidup.
Karya ini juga menginspirasi Ola untuk menulis beberapa buku, seperti The Fairies’ Tree (1932) dan More About the Fairies’ Tree (1933), yang menceritakan kisah para penghuni pohon tersebut. Buku-buku itu menjadi semacam kelanjutan dari pahatan di batang kayu, cerita yang lahir dari bentuk, dan bentuk yang dilahirkan kembali dalam kata.
Di bawah pohon ini terdapat sebuah plakat berisi kutipan yang menyentuh dari Ola Cohn. Terjemahannya seperti begini:
“Saya telah mengukir di sebuah pohon di Fitzroy Gardens untuk mu, dan para peri, tetapi sebagian besar untuk para peri dan mereka yang percaya pada peri, karena mereka akan mengerti betapa perlunya memiliki suaka peri, tempat yang sakral dan aman seperti rumah seharusnya bagi semua makhluk hidup.”
Ola Cohn, 1934
Ola Cohn wafat pada tahun 1964, di usia 72 tahun. Meski ia telah tiada, warisannya masih hidup dalam bentuk paling sederhana dan paling mengesankan: sebuah batang pohon mati yang disulap menjadi dunia dongeng. Bahkan rumahnya kini menjadi Ola Cohn Centre di East Melbourne, galeri seni kecil yang terbuka bagi komunitas dan generasi muda. Kapan-kapan saya harus kesana untuk melihat karyanya.
The Fairies’ Tree pun pernah nyaris rusak. Pada tahun 1977, pohon ini diangkat dari tanah untuk perawatan bagian-bagian kayu yang mulai membusuk dibersihkan, lalu diletakkan kembali di atas dasar beton agar tetap kokoh dan bisa dinikmati generasi mendatang sampai hari ini.

Kami melanjutkan perjalanan melangkah lebih dalam lagi di Fitzroy Gardens antara pepohonan yang meranggas dengan daun-daun kuning yang masih menyisakan jejak warna di sisi jalan. Pemandangan itu begitu indah, seolah melukiskan latar sempurna bagi cerita yang tertunda. Di tengah suasana musim dingin yang sendu namun mempesona itu,
Bu Ermi kembali bercerita, kali ini tentang kehidupannya yang menarik saat tinggal di pusat mode dunia, Prancis. Membayangkan Paris melalui cerita Bu Ermi adalah membayangkan kota yang tak hanya dilihat, tapi juga dirasakan sepenuhnya. Di tengah penjelajahannya, Bu Ermi seringkali pulang pergi ke Indonesia karena putrinya, Sonia, masih kecil dan tinggal di Bogor, sehingga ia harus kerap menengoknya.
Di bawah langit yang mulai kelabu, kami melangkah ringan menyusuri Fitzroy Gardens. Dinginnya udara tak terasa menggigit, mungkin karena obrolan hangat bersama Bu Ermi yang begitu mengalir. Topik kami beralih ke pengalamannya tinggal di Tiongkok.
Sambil tertawa lepas, Bu Ermi berbagi kisah yang cukup menggelitik. "Dulu di sana," kenangnya, "dari jarak beberapa meter saja, kita sudah bisa mencium bau pesing dari toilet umum. Dan toilet disana, masih banyak yang pakai toilet jongkok." Ia melanjutkan, "Yang lebih sering membuat kaget, pintunya jarang dikunci! Jadi, berkali-kali saya mendorong pintu, eh, ternyata ada orang di dalamnya sedang 'nongkrong'." Cerita itu membuat Bu Ermi tergelak, dan saya pun ikut tertawa.
Kami terus melangkah, hingga pandangan saya tertumbuk pada seorang gadis muda di kejauhan yang tengah sibuk menyiapkan kameranya. Dengan penuh ketelitian, ia mengatur mode otomatis, lalu meloncat-loncat kecil sambil merentangkan kedua tangannya. Saya langsung membayangkan betapa indahnya foto-foto yang akan dihasilkannya. Latar belakang pepohonan tinggi dengan daun-daun yang berkilau keemasan dan kekuningan tampak sempurna membingkai setiap lompatan. Saat kami melintas di depannya, ia sudah duduk tenang di sebuah kursi besi, tampak tenggelam dalam keseruan melihat hasil jepretannya.
Kali ini, cerita Bu Ermi beralih ke pengalaman singkat namun penuh warna di India. "Hanya enam bulan," katanya, tapi cukup meninggalkan kesan mendalam. Selama tinggal di JW Marriott Mumbai Juhu, hotel nyaman di tepi pantai, Bu Ermi dan keluarganya justru lebih banyak mengenang kedekatan dengan para staf yang melayani dengan tulus setiap hari.
Ceritanya mengalir lincah, menghadirkan gambaran tentang kehidupan disana. Tentang kontras mencolok antara kemewahan dan kemiskinan, dan betapa sistem kasta masih sangat terasa, dengan mayoritas penduduk berada di kasta Sudra yaitu para buruh, petani, dan pekerja kasar. Ia menggambarkan hiruk-pikuk jalanan, aroma rempah yang memenuhi udara, dan perbedaan budaya yang mencolok dengan cara yang begitu hidup.
Kami kembali berbelok ke kiri, dan tiba di sebuah persimpangan yang unik, jalan bercabang lima terbentang di depan kami seperti halaman buku yang terbuka, masing-masing menawarkan arah dan cerita yang berbeda.
Jika belok ke kanan, di ujung sana tersembunyi River God Fountain, patung air mancur klasik yang menyatu tenang dengan lanskap taman. Jika terus lurus, kita akan menyusuri People’s Path, jalur yang ramai dilalui warga kota tempat favorit untuk jogging atau sekadar berjalan kaki di sore hari.
Sementara itu, cabang paling kiri membawa kita keluar dari Fitzroy Gardens, melintasi jalan dan langsung terhubung ke Treasury Gardens, taman tetangga yang tak kalah indah. Kami memilih jalur ini.
Tiba-tiba, hujan turun tanpa aba-aba. Saya buru-buru menarik penutup kepala dari jaket dan memasangnya, rada menyesal karena lupa membawa payung. Cuaca Melbourne memang terkenal tak bisa ditebak, bisa berubah dalam hitungan menit.
DOLPHIN FOUNTAIN
Sambil terus menyusuri taman dibawah rintik hujan, cerita sudah beralih pada kehiudpannya di negaran Pinoy, Philiphina. Keluarga Pak Chondro dan Bu Ermi rupanya sangat terkesan dengan negara ini, dengan pekerja yang membantu dirumah mereka. Betapa kerasnya kehidupan mereka dan bu Ermi yang suka memasak tentu saja menawarkan masakannya. Sama seperti yang beliau sering lakukan pada saya. Memang baik sekali bu Ermi.
Tapi ditengah ceritanya, pandangan saya tiba-tiba terhenti pada sesuatu di kejauhan, sebuah tumpukan batu hitam yang tampak kontras di tengah kehijauan taman. Sekilas terlihat seperti susunan batu biasa. Saya langsung memotretnya dan begitu sampai rumah saya perhatikan ternyata di bebatuan itu ada macam-macam karakter binatang.
Ternyata itu adalah Dolphin Fountain sebuah instalasi seni berbahan batu basal hitam yang membentuk beragam karakter, dari ikan lumba-lumba yang sedang melompat, hingga wajah-wajah kecil yang tersembunyi di sela-sela batu. Permukaannya basah, seolah baru saja terkena hujan, membuat ukirannya terlihat makin dramatis dan misterius. Tak ada suara air mengalir saat kami datang, hanya keheningan dan kilauan air tipis yang masih menempel di permukaan batu.
Dolphin Fountain ini bukan air mancur biasa. Bentuknya tak simetris dan tak menjual kemewahan. Justru karena itu, ia begitu menarik organik, puitis, dan mengundang imajinasi.
Untungnya, hujan itu tak berlangsung lama. Hanya rintik-rintik singkat yang membasahi jalanan dan membuat udara terasa lebih segar. Setelah itu, langkah saya kembali ringan. Kaki kami terus melangkah, menyusuri bagian lain dari taman, menikmati suasana yang kini terasa lebih tenang, seperti baru saja dibilas oleh alam.
Kemudian, saya melihat sebuah jalan setapak yang begitu rindang, menciptakan kanopi hijau yang meneduhi. Jalan itu berbelok anggun, menghilang di balik rimbunnya dedaunan. Penasaran sih.... tapi tujuan kami adalah ke tempat lain, sebuah lokasi yang sebelumnya diabadikan Bu Ermi dalam sebuah foto dan ditunjukkannya kepada saya Minggu lalu di gereja. Foto itulah yang begitu memicu rasa penasaran saya terhadap taman ini, dan membangkitkan keinginan kuat untuk mengabadikan pohon yang dimaksud dengan kamera HP saya sendiri
Bu Ermi membawa saya ke jajaran pohon tinggi yang berdiri gagah, namun uniknya, area di bawahnya masih berupa tanah gembur, belum tertutup rumput seperti area lainnya. Ini memberikan kesan hutan yang lebih alami, kontras dengan hamparan rumput yang terawat di sekelilingnya, seolah mempertahankan sebagian dari kondisi tanah asli taman ini.
Hingga saat ini, Fitzroy Gardens tetap menjadi surga hijau yang vital di Melbourne, menawarkan pelarian dari kehidupan kota yang sibuk. Dari rawa-rawa sederhana hingga menjadi taman lanskap bergaya Victoria yang megah, Fitzroy Gardens adalah bukti nyata dari visi, dedikasi, dan apresiasi Melbourne terhadap keindahan alam dan warisan sejarahnya. Setiap sudut taman ini menyimpan cerita, mengundang setiap pengunjung untuk menjelajahi dan merasakan keajaiban masa lalu yang hidup di masa kini.
Perjalanan kami di Fitzroy Gardens akhirnya mencapai penghujung. Meskipun musim dingin menyelimuti, taman ini tetap memancarkan keindahannya, bukan dari rona bunga yang ceria, melainkan dari keheningan megah pepohonan yang menjulang tinggi, dan jalur-jalur yang tenang. Kami telah puas menyerap atmosfer damai di antara pepohonan kuno, dari terowongan dahan yang lebat hingga hamparan rumput yang luas dan lapang.
Jam di tangan menunjukkan pukul 1.30 siang. Bu Ermi menoleh, "
," sahutku.
", ajaknya.
Kami berjalan melintasi Treasury Gardens menuju Old Treasury Building, sebuah mahakarya arsitektur yang berdiri kokoh. Disini pemandangan pepohonan tua yang tinggi dan rapat membuat suasana menjadi gelap dan suasana musim dingin mendominasi. Dahan-dahan telanjang yang membentuk siluet dramatis seolah membisikkan cerita sejarah kota, menciptakan koridor yang khusyuk saat kami melewatinya. Suasana gelap ini terasa sangat pas dengan arsitektur klasik yang megah di sekitar kami, sebuah transisi yang sempurna dari ketenangan alami taman ke detak jantung bersejarah kota.
Comments