801 Granted

 

23 Mei 2025, saya menerima sebuah email yang membuat saya menangis haru.

Perjalanan ini panjang, penuh air mata, tekanan mental, dan ujian iman. Hanya Tuhan yang benar-benar tahu seberapa berat semuanya.

Saya pertama kali datang ke Melbourne pada 26 Agustus 2018. Selama hampir dua tahun, saya keluar-masuk Australia sebanyak lima kali, kembali ke Jakarta setiap 3 bulan demi mengikuti aturan visa. Hidup saya seperti nomaden—selalu mengepak koper, tidak pernah benar-benar merasa “tinggal”.

Lalu pada Maret 2020, dunia berubah. Pandemi datang dan perbatasan Australia ditutup. Saya terjebak di Melbourne, terpisah dari keluarga, dari kepastian, dan akhirnya—dari ibu saya.

Untuk tetap tinggal secara legal, saya harus memperpanjang visa turis hingga tiga kali. Masa-masa itu penuh kecemasan. Dan di tengah semua itu, datang kabar yang paling menghancurkan: Mama meninggal karena COVID-19. Saya tidak bisa pulang. Saya tidak bisa melihat wajahnya untuk terakhir kalinya. Luka itu masih terasa hingga hari ini.

May 2022, Saat border sudah dibuka, kami berlibur  ke Indonesia. Namun saat ingin kembali ke Australia, saya hanya diberi visa turis 1 bulan karena waktu tinggal saya sebelumnya sudah melebihi batas tinggal yang ditetapkan imigrasi Australia. Mereka memberi 1 bulan karena saya memohon untuk bisa menemani Sinyo berobat disertai bukti surat dari dokter Maya. 

Dalam waktu singkat itu, saya berhasil mengumpulkan 87 dokumen untuk mengajukan partner visa 820. Saya mengajukan aplikasi tersebut pada 7 Oktober 2022, hanya dua hari sebelum visa habis.

Puji Tuhan, pada Maret 2023, visa 820 saya dikabulkan.

Namun perjalanan belum selesai. Saat menunggu proses visa permanen (801), Sinyo—pasangan saya—jatuh sakit. Ia harus berhenti bekerja. Kondisi keuangan kami menurun drastis. Secara emosional, kami diuji habis-habisan. Ada pertengkaran, air mata, kelelahan mental. Namun di tengah semua itu, ada cinta yang terus bertahan.

Saya sangat bersyukur kepada Ella, yang mengenalkan saya pada Pak Paul, pengacara imigrasi yang luar biasa dan membantu proses visa 820 berjalan lebih lancar. Namun untuk tahap berikutnya—visa 801—saya harus mengerjakannya sendiri. Dengan Sinyo yang sakit dan kondisi ekonomi yang sulit, saya tidak mampu lagi menyewa jasa profesional. Saya mempersiapkan semua dokumen sendiri dan mengajukannya pada Oktober 2024.

Dan kemarin, 23 Mei 2025, saat makan siang bersama Bonnie di Spring Vale, HP Sinyo berbunyi ada email dari IMMI. Dia membuka email dan isinya adalah:

Visa permanen dikabulkan. Saya resmi menjadi Permanent Resident.

Untuk Bonnie, Ina, Evel, dan Luke—terima kasih telah menjadi saksi perjalanan ini.

Untuk komunitas sekolah saya yang luar biasa—terima kasih telah menjadi keluarga bagi saya, menyemangati dan menopang saya saat nyaris menyerah.
Untuk Ella dan Pak Paul—bantuan kalian sangat berarti.

Dan untuk Sinyo, kekasih dan kekuatan saya—terima kasih telah berjalan bersama saya dalam badai ini.

Dan di atas segalanya—Terima kasih Tuhan. Engkau tak pernah melepaskan tangan saya.

Perjalanan ini telah membentuk saya. Menghancurkan dan membangun saya kembali. Mengajarkan saya tentang kesabaran, berserah, kekuatan, dan syukur.

Hari ini, saya berdiri bukan hanya dengan visa permanen, Tapi dengan hati yang penuh rasa syukur.

Inilah awal yang baru. Inilah buah dari iman yang tetap bertahan dalam api.


Comments

Popular Posts