Dancing Through the Storm: A Journey of Faith Against Leukemia

Menari di Tengah Badai: Sebuah Perjalanan Iman Melawan Leukemia.

Mentari pagi menyapa lewat celah jendela, menerangi kamar yang terasa lebih sunyi dari biasanya. Beberapa bulan terakhir ini, rutinitas kami berpusat pada kunjungan ke rumah sakit, menunggu kabar, dan berusaha menjaga semangat tetap tinggi. Semuanya berawal dari kepulangan kami setelah liburan yang menyenangkan. Kelelahan yang dirasakan Sinyo awalnya kami anggap biasa, efek perjalanan jauh. Namun, beberapa hari kemudian, firasat buruk membawa kami ke Monash Medical Centre. Mendengar diagnosis Acute Myeloid Leukemia di awal memang terasa mengguncang, sebuah berita yang sempat membuat kami terkejut.

Namun, setelah momen awal keterkejutan itu, kami memilih untuk berserah sepenuhnya kepada Tuhan Yesus. Keyakinan bahwa ada rencana yang lebih besar dan kekuatan yang melampaui pemahaman kami memberikan ketenangan yang luar biasa. Sejak saat itu, setiap langkah dalam perjalanan ini terasa lebih ringan. Hari demi hari, kami merasakan mukjizat Tuhan yang nyata.

Hari-hari setelah diagnosis, meskipun diisi dengan berbagai prosedur dan informasi medis, kami jalani dengan hati yang lebih damai. Sinyo harus meninggalkan pekerjaannya, sebuah perubahan besar, namun kami menerima ini sebagai bagian dari rencana Tuhan. Bantuan dari teman-teman seperti Bonnie dan Kang Yadi yang datang tepat waktu untuk mengurus berbagai dokumen terasa seperti uluran tangan dari Yang Maha Kuasa.

Perjalanan pengobatan dimulai dengan beberapa siklus kemoterapi. Setiap tahapnya memang membutuhkan ketabahan, namun kami merasakan penyertaan Tuhan dalam setiap prosesnya. Penantian hasil pemeriksaan setelahnya tidak lagi dipenuhi kecemasan yang berlebihan, melainkan dengan keyakinan bahwa apapun hasilnya, itu adalah yang terbaik menurut kehendak-Nya. Ketika dokter menyampaikan kabar baik bahwa sel leukemia tidak lagi terdeteksi, kami menyambutnya dengan penuh rasa syukur. Bebas dari kemoterapi adalah bukan mukjizat pertama yang kami rasakan. Ketika dokter mgnatakan supaya kanker tidak lagi kembali perlunya transplantasi sel induk darah, kami menerimanya dengan hati yang terbuka, percaya bahwa jalan telah dipersiapkan.

Kandidat yang pas untuk mendonor adalah saudara kandung laki-laki namun faktur usia menjadi kendala. Selain itu dokter bertanya tentang anak laki namun Sinyo hanya memiliki anak perempuan. Anak perempuan membawa gen yang sama dengan ayah maka kans untuk keberhasilan transplan hanya 50%. Sample darah Meishia diambil.

Sementara itu dokter mengusahakan untuk mencari donor lain. lewat bank donor. Mencari donor di Australia memiliki tantangannya tersendiri, perbedaan latar belakang genetik menjadi kendala. Herannya  kami tidak merasa khawatir. Kami percaya bahwa jika memang itu yang terbaik, maka jalan akan dibukakan. Dan benar saja, di luar dugaan, kami mendapatkan donor dengan sangat cepatt hanya 2 minggu sejak kondsultasi kita dengan dokter mengenai donor. Sebuah kemudahan yang luar biasa dan mukjizat kedua yang kami alami. Ini semakin menguatkan keyakinan kami akan kuasa Tuhan yang bekerja dalam hidup kami.


Ketika akhirnya Hickman line tidak lagi diperlukan, kami kembali merasakan kemudahan dan kebebasan yang kami syukuri.

Kisah ini adalah tentang bagaimana di tengah tantangan besar, pilihan untuk berserah kepada Tuhan Yesus membawa kedamaian dan kemudahan yang tak terduga. Meskipun kejutan awal diagnosis sempat mengguncang, keyakinan dan penyerahan diri mengubah perspektif kami. Setiap langkah terasa lebih ringan, setiap bantuan datang tepat waktu, dan setiap kemajuan adalah bukti nyata dari penyertaan-Nya. Hari demi hari, kami menyaksikan sendiri bagaimana Tuhan bekerja, memberikan mukjizat demi mukjizat, mulai dari bebas kemo hingga kemudahan mendapatkan donor yang tepat waktu. Kami percaya bahwa segala kemudahan yang kami alami adalah berkat dari berserah sepenuhnya kepada rencana Tuhan.

----
ENGLISH VERSION

Dancing in the Storm: A Journey of Faith Against Leukemia

The morning sun peeked through the window, casting light into a room that felt quieter than usual. For the past few months, our lives have revolved around hospital visits, waiting for updates, and doing our best to stay hopeful. It all began after we returned from a joyful holiday. At first, Sinyo’s fatigue seemed normal—just the aftermath of long travels. But a few days later, an unsettling feeling led us to Monash Medical Centre.

Hearing the diagnosis—Acute Myeloid Leukemia—was like a bolt of lightning on a clear day. Shocking. Paralyzing. But once the initial wave of fear subsided, we made a conscious decision to surrender everything into the hands of Jesus Christ. There is a peace that goes beyond understanding when your heart fully trusts that God has a greater plan.

From that moment on, each step felt lighter. Amid all the medical terms, procedures, and waiting, we could sense God’s presence at every turn. Even though the early days were filled with uncertainty and tough decisions, our faith gave us strength and clarity.

Sinyo had to leave his job—a major shift in our lives. But we accepted it as part of the journey God had allowed. The timely help of friends like Bonnie and Kang Yadi, who assisted with important paperwork, felt like God's hands reaching out through those around us.

The treatment journey began with several cycles of chemotherapy. It was a test of endurance, but we walked through each stage with hope in our hearts. When the doctor finally told us that no leukemia cells were detected, our hearts overflowed with gratitude. But we knew the battle wasn’t over yet. To prevent a relapse, a stem cell transplant was the next crucial step.

Ideally, the donor would be a male sibling. Unfortunately, age disqualified Sinyo’s brother. The doctor then asked about sons. Sinyo only has a daughter. Because of genetic factors, the success rate for a daughter donating to her father is only about 50%. Still, a sample of our daughter Meishia’s blood was taken for testing.

Meanwhile, the doctors also searched the donor registry. Finding a match in Australia isn’t easy due to genetic differences. But strangely, we weren’t anxious. We believed that if this was God’s plan, He would make a way. And He did—far beyond what we imagined. Just two weeks after our donor consultation, we were told that a perfect match had been found. It was the second miracle we experienced—another affirmation that God was truly working behind the scenes.

The transplant was done, and we embraced the recovery phase with peace. When the day finally came for Hickman line to be removed, it felt like another layer of freedom we could rejoice in.

This story is a testament to how, in the midst of a great storm, choosing to surrender to Jesus brings unexpected peace and grace. Though the initial shock of diagnosis shook us deeply, faith and surrender transformed our perspective. Each step felt lighter, every piece of help came at the right moment, and every bit of progress became clear evidence of God’s presence.

We’ve seen with our own eyes how God moves—freeing Sinyo from chemo, guiding us to a donor against all odds. And we truly believe that all these blessings came because we chose to let go of control and trust in God’s plan. Sometimes, even in the middle of a storm, you can still find the strength to dance—when you know whose hands are holding you.


Comments

Popular Posts