D5 Walk | Saturday's Tale


Jarum jam menunjukkan pukul 9.16 pagi saat pintu rumah tertutup di belakang saya. Sinyo masih terlelap, dia cuma sempat terbangun sebentar hanya untuk mengingatkan "jalan pagi."

Tadinya, setelah mandi, saya cuma mau kembali ke kasur dan main game dan membiarkan Sabtu pagi berlalu begitu saja begitu saja. Namun, cuaca di luar terlalu indah untuk dilewatkan. Lebih baik saya berjalan kaki sampai ke St Kilda Botanical Gardens, lalu membeli kopi hangat di 7-Eleven di ujung jalan. Sebuah rencana pagi yang sempurna.

Matahari menebarkan hangatnya dengan lembut, meski udara 11 derajat masih setia menggigit kulit. Angin pagi yang usil berhembus, membuat saya menaikkan kerah jaket lebih tinggi. Di balik lapisan tebal itu hanya ada sehelai baju tipis, namun saya yakin pada akhirnya tubuh akan terasa panas karena setiap langkah menghadirkan kehangatan. 


Saya menyeberangi Nepean Highway yang pagi itu terasa begitu lengang, lalu berbelok ke jalan Mozart Street. 

Saat menyusuri jalan, pandangan saya jatuh pada sesuatu yang menarik di pangkal sebuah pohon besar. Saya mendekat dan berjongkok takjub dengan apa yang saya lihat Sebuah pintu kecil berwarna merah menyala, lengkap dengan bingkai kayu dan kenop bundar, terpasang di dasar batang pohon. Di depannya tergeletak alas kaki kecil dengan tulisan "WELCOME" yang dicetak rapi.


Itu adalah fairy door, atau pintu peri, yang selama ini hanya saya lihat di media sosial. Ini adalah dekorasi fantasi atau seni publik, dibuat oleh orang-orang untuk menciptakan kesan bahwa ada makhluk dongeng seperti peri atau kurcaci yang tinggal di sana. Pintu kecil berwarna merah ini terlihat sangat lucu dan detail, seolah-olah memang ada dunia magis di baliknya. 

Lucu sekali!" gumam saya sambil mengeluarkan ponsel untuk mengabadikannya.

Saya melanjutkan perjalanan menuju St Kilda Botanical Gardens. Baru 2 hari lalu saya jalan sore ke taman ini dan memotret bunga-bunga cantik yang tumbuh dimusim dingin. Ini musim kedua saya melihat bunga-bunga ini bersemi winter tahun lalu saat kesini bunga itupun bermekaran.


Sebuah taman yang terawat sempurna begitu damai dan bersih dan ini bisa dinikmati secara gratis. Saya sungguh bersyukur bisa tinggal begitu dekat dengan keindahan ini, yang juga menawarkan kedekatan dengan pantai. Rumput hijaunya terhampar luas, bersih tanpa cela bahkan daun-daun kering yang jatuh pun selalu disingkirkan. Di tengahnya, deretan bunga-bunga aneka warna mekar dengan rapi, menawarkan pemandangan yang menakjubkan. Seluruh suasana ini diiringi kicauan merdu burung-burung, seolah-olah musik alam yang menyambut setiap jiwa yang mencari ketenangan. 

Langkah kaki terasa ringan saat saya melanjutkan perjalanan menuju St Kilda Botanical Gardens.  Saya berbelok ke kanan, melangkah menuju kebun mawar yang luas. Taman itu masih terlihat botak, dengan hanya batang-batang kering yang menunggu musim semi. Mawar-mawar itu akan mekar sempurna di musim panas nanti, dan saya membayangkan betapa indahnya taman ini pada saat itu. 

.
Di tengah kebun mawar, sebuah gazebo berdiri tegak sendirian. Tiang-tiangnya menjulang bagai menanti sebuah pesta yang belum dimulai, sebuah panggung kosong yang menunggu riuh rendah tawa dan keindahan mawar-mawar yang kelak akan mekar. Saya melangkah melewatinya, menelusuri lorong yang rimbun dan dipayungi oleh pepohonan.




Didepan, jalan setapak bercabang dua. Saya mengambil arah ke kiri, di mana hijaunya tanaman merambat begitu rapat di bawah pohon. Disana, di antara dedaunan yang asing, saya menemukan pemandangan yang tak terduga: sebuah pohon yang daunnya familiar, menggantung panjang seperti ekor tupai, persis seperti yang sering saya lihat di Indonesia. Sentuhan familiar itu terasa menenangkan, seolah ada sepotong kecil rumah di tengah taman asing ini, mengundang saya untuk melangkah lebih jauh.


Langkah saya membawa saya menuju jantung taman. Di sana, di antara hijaunya dedaunan dan bisikan angin pagi, terhampar sebuah taman yang penuh dengan keajaiban musim dingin. Bunga-bunga berwarna-warni bermekaran dengan indahnya, seolah mereka tak peduli dengan dinginnya udara. 


Mereka adalah bunga-bunga yang hanya mekar di musim dingin, hadiah rahasia alam yang menunggu untuk ditemukan. Mereka menyambut saya dengan palet warna cerah, sebuah kontras yang memukau di tengah musim yang seharusnya kelabu. Setiap langkah di taman itu terasa seperti masuk ke dalam lukisan hidup, sebuah persembahan keindahan yang sungguh mempesona.


Pemandangan di taman ini begitu luar biasa hingga saya merasa harus membagikannya. Teringat pada Tante Ogie. membayangkan betapa bahagianya kami berdua jika bisa berjalan santai di sini. Keindahan taman ini sungguh pantas untuk dibagikan, bahkan jika hanya dalam bentuk cerita atau ingatan. Saya memutuskan untuk menghubunginya, ingin membawanya masuk ke dalam keindahan taman ini, meskipun hanya melalui panggilan video.

"Halo, Tante!" sapa saya riang saat panggilan terhubung. Tangan saya mengarahkan kamera ponsel, mencoba menangkap setiap sudut taman yang mempesona. "Tante harus lihat ini, indah sekali!"

Saya mengajaknya "berkeliling" secara virtual, menunjuk ke arah konservatorium yang menjulang dan masuk kedalamnya. Hangat cuaca di alam tropis menyapa wajah saya, hangat serasa di Indonesia. Saya gak mau berlama-lama disitu. Musim dingin beberapa tahun yang lalu saya punya pengalaman tidak enak disini, ada homeles yang mengoda saya dipintu masuk saat saya mau keluar dan sunguh saat itu saya sangat ketakutan. 


Saya melanjutkan tour menunjukan taman kepada tante Ogie, melewati kolam dimana airnya berkilauan. Ditepi kolam, seorang pria paruh baya duduk tenang di bangku, dikelilingi oleh sekelompok besar burung merpati yang seolah menunggu remahan roti darinya. Saat saya melangkah mendekat, burung-burung itu tetap tenang, bahkan tidak beranjak. Mereka sudah terbiasa dengan keberadaan manusia di sekitar mereka, sebuah pemandangan yang menunjukkan betapa damainya kehidupan di taman ini.

Saya menunjukkan pemandangan itu pada Tante Ogie. Ia tersenyum, seolah bisa merasakan suasana tenang yang saya alami. "Sungguh indah, ya," 

Mengajak Tante Ogie "berjalan-jalan" di taman ini, walau hanya dari jauh, membuat hati saya merasa hangat, seperti secangkir kopi yang menunggu untuk saya nikmati. Dengan perasaan riang, saya melangkahkan kaki keluar dari gerbang taman, berjalan menuju 7-Eleven yang terletak di sudut jalan Barkly Street dan Blessington Street. Aroma kopi yang hangat seolah memanggil.

Saya masuk ke dalam 7-Eleven dan mulai menekan tombol-tombol di mesin kopi. Tante Ogie, yang masih melihat apa yang saya lakukan melalui kamera ponsel, tiba-tiba berkomentar, "Sebaiknya jangan pakai cangkir kertas, Nak, bisa menyebabkan penyakit. Kamu lihat tidak video yang Tante kirim kemarin?"

Mendengar kekhawatiran itu, sebuah ide pun terlintas di benak saya: mungkin lain kali, saya harus membawa tumbler kopi sendiri dari rumah. Setelah itu, saya memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan. Saya meminta maaf karena mengganggu ibadah paginy dan saya menutupnya dengan ucapan "Happy Sabbath". Saya tahu, nanti ia akan pergi ke gereja untuk ibadah Sabat, karena ia adalah seorang Kristen Advent.


Dengan cangkir kopi hangat di tangan, saya melangkah keluar dan kembali ke taman. Kali ini, saya memutuskan untuk menyusuri bagian lain dari taman seluas 6 hektar ini. 


Kopi hangat di tangan terasa seperti teman setia, menemani saya menjelajahi setiap sudut yang belum sempat saya singgahi. Saya berjalan pelan, menikmati setiap tegukan dan membiarkan diri tenggelam dalam ketenangan pagi, dikelilingi oleh hijaunya alam dan keindahan yang disajikan taman ini.


Saat melangkah lebih jauh ke dalam, saya melihat sebuah bangunan kecil dengan tulisan "Friends of St Kilda Botanical Gardens" di depannya. Ini adalah glasshouse yang dikelola secara khusus oleh sekelompok sukarelawan berdedikasi, yaitu komunitas Friends of St Kilda Botanical Gardens. Sebagai salah satu kelompok relawan yang paling aktif di taman ini, mereka memastikan keberlanjutan dan keindahan lingkungan melalui kerja keras mereka.

Fungsi utama glasshouse ini adalah sebagai "nursery" atau tempat pembibitan. Di sinilah para sukarelawan dengan cermat menumbuhkan bibit-bibit tanaman. Tanaman yang sudah siap kemudian dijual untuk mendanai kegiatan mereka, atau digunakan kembali untuk memelihara dan mempercantik kebun. Kegiatan ini tidak hanya berkontribusi pada pemeliharaan taman, tetapi juga memperkuat ikatan komunitas lokal dengan lingkungan sekitarnya.


Meskipun ukurannya tidak besar, glasshouse ini memiliki jadwal operasional yang teratur, meskipun fleksibel. Biasanya, bangunan ini terbuka untuk pengunjung setiap hari Sabtu, mulai pukul 15.00 hingga 17.00. Namun, ada kalanya jadwal tersebut bisa berubah jika para sukarelawan sedang memiliki agenda lain atau cuaca tidak memungkinkan untuk kegiatan di luar ruangan. Di luar jam tersebut, akses ke glasshouse kecil ini cenderung terbatas, menjaga fokusnya tetap pada fungsi utamanya sebagai tempat pembibitan.

Taman bersejarah ini, yang pertama kali didirikan pada tahun 1859, membentang seluas 6 hektare dan menawarkan beragam fitur menarik. Di dalamnya, pengunjung dapat menemukan konservatorium besar, gazebo klasik, kolam hias yang menenangkan, serta Pusat Edukasi (EcoCentre) yang menjadi pusat kegiatan lingkungan.


Sebagai seseorang yang jarang menghabiskan Sabtu pagi di taman, pemandangan kali ini terasa begitu baru. Orang-orang terlihat menikmati pagi mereka dengan cara yang sama sekali berbeda dari rutinitas saya. Banyak dari mereka berjalan santai, menggenggam cangkir kopi di satu tangan, sementara tangan yang lain menggenggam tali anjing mereka. Mereka terlihat begitu damai, menikmati setiap momen yang ada. 


Tadi saat ngobrol sama tante Ogie, ada 2 burung Rainbow Lorikeet berbunyi nyaring dan saya menunjukan mereka pada tante Ogie. Eh ternyata saya bertemu lagi dengan burung yang sama disudut lain taman, suatu kebetulan hehehe.

Rainbow Lorikeet adalah burung yang sangat sosial. Mereka berasal dari hutan dan semak belukar di sepanjang pesisir timur Australia. Mereka jarang sekali terlihat sendirian. Sebaliknya, mereka selalu bepergian bersama pasangannya atau dalam kelompok besar, yang dikenal sebagai kawanan. Ada alasan yang sangat kuat di balik kebiasaan ini: mereka dikenal membentuk ikatan pasangan yang sangat erat, yang sering kali berlangsung seumur hidup. Saat kita melihat dua Rainbow Lorikeet terbang berdampingan, kemungkinan besar mereka adalah pasangan sehidup semati. Mereka mencari makan bersama, bertengger di dahan yang sama, dan bahkan saling membersihkan bulu.

Hidup dalam kawanan juga memberikan mereka rasa aman. Saat berkumpul, banyak pasang mata yang bisa mengawasi predator dan bahaya lainnya. Satu burung yang melihat ancaman dapat dengan cepat memberi peringatan kepada yang lain, meningkatkan peluang mereka untuk bertahan hidup. Itulah mengapa mereka sering terlihat muncul berpasangan atau berkelompok, menjaga satu sama lain, dan menyuarakan kicauan mereka yang riuh saat terbang.

Saya merasa sangat beruntung dapat memotret mereka dari jarak yang cukup dekat, dan mereka sama sekali tidak terbang. Mungkin mereka sudah merasa nyaman dengan pengunjung taman yang tidak pernah mengganggu. Setelah beberapa saat mengagumi keindahan mereka, saya memutuskan untuk meninggalkan mereka berdua dan melanjutkan perjalanan menyusuri taman. Kisah tentang Rainbow Lorikeet adalah kisah tentang kebersamaan dan kesetiaan yang tak terpisahkan, dan juga tentang bagaimana mereka berbagi ruang dengan damai di lingkungan perkotaan.


Matahari pagi bersinar lembut dan cahayanya membias membuat bunga-bunga semakin terlihat cantik.




Berbelok meninggalkan jalan utama saya masuk didalam rimbunan semak dan mengikuti jalan setapak, perlahan suasana berubah. Saya seperti berada di dalam hutan bambu, dengan jenis bambu dengan batang berwarna hijau yang lebih gelap dan umum kita jumpai, yang membuat suasana hutan bambu terasa semakin autentik. Udara terasa lebih sejuk dan tenang, dan suara dedaunan yang bergesekan menciptakan melodi alam yang menenangkan.


Di dekatnya, ada pula bambu kuning berwarna kuning keemasan yang terlihat mencolok. Bambu ini kemungkinan besar adalah jenis Bambu Emas (Golden Bamboo), yang sering ditanam di taman karena warna batangnya yang unik dan indah.

Kombinasi kedua jenis bambu ini menciptakan pemandangan yang menenangkan dan teduh. Cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah daun menciptakan efek bayangan yang dramatis, membuat setiap sudut terasa damai dan sejuk. Sungguh tempat yang sempurna untuk berjalan-jalan dan merenung.

Di tengah suasana yang damai itu, mata saya tertuju pada sebuah stone lantern yang berdiri kokoh. Lokasinya sangat strategis, tepat di samping rumpun pohon bambu yang tinggi dan rimbun. Kehadiran stone lantern itu terasa begitu harmonis dengan lingkungan sekitarnya, seolah-olah membawa nuansa Jepang yang tenang ke dalam taman Australia.


Lentera ini bukanlah sekadar hiasan. Sebuah plakat di dasarnya mengungkapkan kisahnya: lentera ini adalah hadiah dari komunitas Obu di Jepang, yang diberikan pada 14 November 2013, untuk merayakan ulang tahun ke-20 kemitraan kota kembar dengan Kota Port Phillip.

Lentera ini adalah simbol persahabatan yang kuat dan ikatan budaya antara dua komunitas yang terpisah ribuan kilometer. Setiap kali saya melihatnya, saya teringat akan hubungan istimewa ini, yang diabadikan dalam bentuk karya seni yang indah dan damai di tengah keindahan alam.

St Kilda adalah salah satu "suburb" atau pinggiran kota yang berada di bawah naungan sebuah area pemerintahan lokal yang disebut City of Port Phillip. Kalau di Indonesia, City of Port Philip seperti sebuah kabupaten atau kotamadya yang menaungi beberapa desa. St Kilda adalah salah satu bagian di dalamnya, bersama dengan area lain seperti Port Melbourne, South Melbourne, dan Albert Park.

Hubungan ini sangat penting untuk dipahami. Ketika sebuah hadiah seperti lentera batu dari Obu, Jepang, diberikan, hadiah itu dipersembahkan kepada seluruh komunitas City of Port Phillip. Lentera tersebut tidak hanya untuk orang-orang di St Kilda, melainkan untuk semua orang yang tinggal di wilayah pemerintahan itu. Namun, karena Kebun Raya St Kilda adalah salah satu taman paling terkenal dan ikonik di wilayah tersebut, lentera itu ditempatkan di sana sebagai simbol yang dapat dinikmati oleh semua.

Dengan demikian, St Kilda adalah bagian yang tak terpisahkan dari City of Port Phillip, sebuah hubungan yang memperkaya identitas tempat ini dan menunjukkan bagaimana wilayah yang lebih luas bekerja sama untuk menghargai persahabatan internasional.


Di dalam semak-semak lebat atau yang orang Australia sering sebut bush, mata saya menangkap pemandangan yang tak terduga. Bunga-bunga cantik berwarna pink bermekaran, tampil kontras dan mencolok di antara hijaunya dedaunan. Mereka terlihat seperti permata kecil yang berserakan di semak-semak, menjadi primadona dan daya tarik utama yang memancarkan keindahan sederhana namun memesona. Kehadiran bunga-bunga ini seperti kejutan kecil yang menambah keajaiban pada petualangan saya di taman.





Saya meninggalkan sisi taman di area ini dan menyeberang melewati pohon Pohon Kubis (Cordyline australis) yang sedang dirawat. Meskipun pohon ini sering disalahartikan sebagai palem, secara botani ia adalah jenis tumbuhan yang berbeda yang dapat tumbuh sangat tinggi, seperti yang terlihat di taman ini. Pagar di sekelilingnya dipasang untuk melindungi area tersebut saat dalam masa perawatan. Kemudian, saya berjalan menyusuri koridor di dekat kebun mawar untuk menuju bagian taman yang lainnya.





Taman ini besar sehingga terlihat kosong, padahal banyak orang lalu-lalang membawa anjing atau mendorong stroller. Udara yang dingin membuat orang malas duduk di taman dan lebih suka bergerak supaya badan menjadi hangat.



Saya menghabiskan tetes terakhir cappuccino dari 7-Eleven. Aroma kopi yang pekat masih menari-nari di udara, meninggalkan jejak hangat di indra penciuman saya. Dengan senyum puas, saya membuang cup kosong itu ke tempat sampah. Saya masih terkesan dengan 7-Eleven disini. Mesin kopinya luar biasa, karena menawarkan pilihan light, normal, dan strong.

Yang paling membuat saya tertarik adalah adanya cocoa shaker di sana. Saya bisa menaburkan bubuk coklat di atas cappuccino buatan saya sendiri, sesuatu yang tidak pernah saya temukan di 7-Eleven lain, seperti yang di Balaclava atau yang di St Kilda Road dekat rumah sakit. Ini membuat saya ingin kembali lagi membeli kopi disitu lain hari.


Saatnya pulang. Saya melangkah menuju gerbang, melewati bangku kosong yang diam dalam kesunyian. Menyusuri jalan yang sama, lalu menyeberangi Nepean Highway yang kini mulai dipadati kendaraan.


Sebelum menyebarng menuju ke rumah, ada sebuah gereja berdiri dengan kokohnya. Gereja ini bukan sekadar bangunan tua biasa, melainkan memiliki nama Holy Trinity Anglican Church, dan merupakan bagian dari Paroki Balaclava dan Elwood. Letaknya berada di sudut Chapel Street dan Brighton Road, di daerah St Kilda, yang secara teknis termasuk dalam kawasan pinggiran kota Balaclava.


Gereja ini memiliki sejarah panjang. Bangunan aslinya, yang terbuat dari kayu, didirikan pada tahun 1871. Sepuluh tahun kemudian, pada 1882, sebuah gereja baru dengan arsitektur yang lebih megah mulai dibangun. Sayangnya, puncak menaranya tidak pernah selesai dibangun.

Gereja ini bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga sebuah komunitas yang aktif. Mereka mengadakan kebaktian rutin setiap Minggu dan juga pelayanan khusus untuk acara-acara penting di kalender gereja, seperti Paskah dan Natal. Bagi penduduk setempat, termasuk saya, gereja ini adalah pemandangan yang menenangkan dan menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari.


Satu jam berjalan dan tiba di rumah, ternyata Sinyo masih tidur karena kurang enak badan. Saya pun dengan sigap membuatkan sarapan pisang goreng isi keju yang dibalut kulit lumpia. Setelah Sinyo kembali tidur, saya memutuskan untuk pergi ke perpustakaan yang letaknya juga dekat dari rumah.

Perpustakaan itu adalah St Kilda Library. Bangunan modern ini berdiri di 150 Carlisle Street dan memiliki cerita yang cukup unik. Sejak tahun 1860, sudah ada gagasan untuk membangun perpustakaan umum di sini, tetapi baru pada Mei 1973 gedung yang kita lihat sekarang ini resmi dibuka. Perpustakaan ini dirancang oleh arsitek terkenal, Enrico Taglietti, dan menjadi landmark lokal yang diakui.


Dengan membawa laptop dan botol minum, saya pergi ke sana, tidak hanya untuk menyelesaikan tulisan, tetapi juga untuk mencari kehangatan dari heater di dalam gedung. Di dalam, saya disambut dengan koleksi yang sangat beragam. Selain buku-buku fiksi dan non-fiksi umum, perpustakaan ini juga memiliki koleksi khusus. Ada koleksi yang fokus pada sejarah lokal di St Kilda dan sekitarnya, yang berisi arsip, foto-foto lama, dan peta. Selain itu, mereka juga memiliki koleksi lengkap tentang arsitektur, sejarah Australia, dan bahkan silsilah keluarga, yang bisa membantu orang-orang melacak nenek moyang mereka. Saya juga menemukan banyak sekali buku dan majalah digital yang bisa diakses dengan mudah, membuat pengalaman membaca saya semakin kaya.

Di tengah suasana yang tenang dan hangat itu, saya mencari tempat duduk. Perpustakaan cukup ramai, dan bagian untuk anak-anak selalu dipenuhi oleh anak-anak yang asyik membaca atau bermain. Hal ini menunjukkan betapa tingginya minat membaca masyarakat di sini. Akhirnya, saya menemukan bangku yang kosong di salah satu meja, mengeluarkan laptop, dan mulai menulis. Jaringan WiFi-nya juga sangat cepat, membuat pekerjaan saya semakin lancar dan efisien.

Jika tidak ingat perut yang mulai terasa lapar, rasanya saya bisa duduk di sana sampai perpustakaan tutup, yaitu pukul 17.00 pada hari Sabtu. Perpustakaan ini lebih dari sekadar tempat untuk membaca; ia adalah tempat di mana sejarah, pengetahuan, kenyamanan, dan konektivitas bertemu. Sungguh tempat yang sempurna untuk menghabiskan sore yang dingin.


Saat saya keluar, gerimis turun deras dan udara semakin dingin. Saya merapatkan jaket, sedikit kesal karena lupa menjelang sore akan hujan. Saya mempercepat langkah menuju rumah, namun perut yang kelaparan membuat saya mampir ke Domino's Pizza. Saya memesan pepperoni pizza seharga $8 dan tergesa-gesa membawanya pulang. Beruntung, hujan mulai reda. Sesampainya di rumah, saya dan Sinyo menikmati pizza itu sebagai makan siang kami yang telat. 

TULISAN SEBELUMNYA MENGENAI ST.KILDA BOTANICAL GARDENS

Comments

Popular Posts