Semangkuk Sup Jawa
Mentari musim dingin di Melbourne, Juli 2025, masuk dari jendela kamar terasa hangat di kulitku. Namun, hatiku justru melayang jauh, ribuan kilometer dari sini, ke sebuah pagi di tanah air. Tepatnya, ke sudut dapur rumah lamaku, tempat kenangan akan almarhum Mama dan melodi khas gerobak sayur keliling seringkali muncul tanpa diundang.
"Saayuuuur... saayuurrr..."
Suara itu, meski kini hanya bergema dalam benakku, dulu adalah alarm terbaik yang pernah ada. Itu suara Mas Karman atau Mas Dedi, langganan almarhum Mama, yang setia mengitari gang perumnas kami setiap pagi. Mereka bukan sekadar pedagang, tapi bagian tak terpisahkan dari rutinitas dan, tak jarang, penawar rasa bosan Mama di dapur. Dulu, gerobak mereka didorong murni dengan tenaga, peluh menetes, namun senyum dan sapaan hangat tak pernah pudar. Mungkin kini, gerobak-gerobak itu sudah ditarik motor, menghemat tenaga, namun esensinya tetap sama: membawa segala kebutuhan dapur langsung ke depan rumah.
Seringkali, dari balik jendela, aku melihat Mama bergegas keluar, dompet terselip di keteknya. Saya juga buru-buru meraih kamera untuk memotret. Gerobak mereka selalu penuh, bukan hanya dengan sayuran eceran, tapi juga dengan pemandangan yang paling mencuri perhatianku: kantong-kantong plastik bening berisi paket sayuran siap masak, tergantung rapi, berkilauan diterpa sinar matahari pagi.
Ada kantong plastik tergantung, bergoyang-goyang: paket sayur asem. Ah, itu dia! Melinjo, daun melinjo, kacang panjang, labu siam, terong ungu, nangka muda, sampai daun salam dan lengkuas keci, semua sudah jadi satu paket. Membayangkan betapa mudahnya membuat semangkuk sayur asem segar hanya dengan satu kantong plastik itu sungguh luar biasa. Tinggal tambahkan air, sedikit bumbu dapur, dan rasakan ledakan rasa asam segar, manis, dan pedas yang begitu menggoda.
Ada juga paket sup Jawa. Isinya komplit tanpa perlu repot: potongan wortel oranye cerah, kentang dadu, buncis hijau, irisan kol, dan seikat daun bawang-seledri. Semua sudah dipilah, dipotong, siap nyemplung panci. Tinggal tambahkan bumbu dasar andalan Mama, bawang putih dan merica yang sudah dihaluskan. Tak ada bawang merah atau bawang bombay dalam bumbu utamanya; kelezatan sup Jawa yang bening ini memang murni dari gurihnya kaldu dan rempah sederhana.
Tidak hanya itu. Gerobak-gerobak itu adalah supermarket berjalan yang sesungguhnya. Di sudut lain gerobak, tergantung apik kantong-kantong kerupuk dengan berbagai bentuk dan warna yang menarik perhatian anak-anak (termasuk aku dulu). Di dalam gerobak, berjejer rapi baki berisi bakso, potongan ayam segar, bahkan daging sapi. Ada pula aneka tahu dan tempe yang baru datang dari pabriknya, serta berbagai buah-buahan musiman yang ranum. Di bawah semua itu, mungkin ada tumpukan kue lemet yang manis legit, atau bungkusan tape yang fermentasinya pas, manis sedikit asam. Dari gerobak sekecil itu, kita bisa menemukan hampir semua kebutuhan dapur dan camilan harian, tanpa perlu repot ke pasar atau supermarket besar.
"Dedi," aku sering mendengar Mama menyapa, "Ded bawang merah kasih seperempat, oya tambah Nanas satu, sekalian tolong kupasin." Dan Mas Dedi dengan cekatan memilihkan yang terbaik lalu mengupasnya. Itu adalah interaksi personal yang hangat, sebuah ikatan yang terbentuk dari rutinitas dan kepercayaan.
Tahun 2019 saat saya pulang ke Depok, saya dengar Mas Dedi meninggal. Jelas kaget dan kehilangan seorang penjual sayur yang telah saya kenal sejak jaman saya belum punya anak, 20an tahun yang lalu.
Kini, di Melbourne, Saya sering rindu akan kemudahan supermarket jalanan ala Indonesia. Memang ada sayuran segar, tapi nuansa "tinggal comot beres" itu tidak semudah di sini. Setiap bahan harus dicari satu per satu, kadang di toko yang berbeda, dengan harga yang tentu saja tak sesederhana paket sup atau sayur asem seharga belasan ribu rupiah atau permintaan ikan atau nanas yang dibersihkan.
Kenangan akan paket-paket sayuran di gerobak Mas Karman dan almarhum Mas Dedi bukan hanya tentang makanan, tapi tentang cara hidup. Tentang sebuah negara di mana hal-hal kecil bisa sangat memanjakan dan menghangatkan hati. Sebuah kemudahan yang tak ternilai, warisan sederhana namun berharga dari almarhum Mama dan para pahlawan sayur keliling di tanah air.
Siang ini, di tengah dinginnya Juli di Melbourne, kenangan itu tak hanya menghangatkan hati, tapi juga menggerakkan tanganku. Di dapurku, bahan-bahan untuk sup Jawa sudah tersedia: wortel, kentang, buncis, kol, dan seledri. Tidak ada bakso atau ayam, tapi itu tak masalah. Sup Jawa yang sederhana ini, dengan kuah bening yang gurih dari bumbu bawang putih dan merica, sudah cukup. Aku ingin meramu semangkuk sup bening gurih itu, menghirup aromanya yang sederhana namun menenangkan, dan merasakan kembali jejak rasa masakan Mama, dan nostalgia akan pagi-pagi di Indonesia yang begitu menyenangkan.
Di Indonesia, ada banyak varian sup atau masakan berkuah. Misalnya, ada Soto yang memiliki banyak varian regional (Soto Ayam, Soto Betawi, Soto Madura, dll.) dengan bumbu yang lebih kompleks dan khas. Ada juga Sayur Bening (misalnya, sayur bayam bening) yang lebih sederhana lagi. "Sup Jawa" hadir sebagai kategori umum untuk membedakannya dari soto yang lebih berbumbu pekat, atau sayur bening yang sangat sederhana.
Meskipun disebut "Sup Jawa", sebenarnya ini adalah identifikasi geografis. Konsep sup bening dengan sayuran umum dan bumbu sederhana ini memang sangat populer di tanah Jawa, cerminan dari masakan rumahan yang praktis dan lezat. Bukan karena ada sejarah penamaan tunggal yang megah, melainkan karena ia merepresentasikan gaya masakan sup yang diadaptasi dari Barat, namun dengan sentuhan rempah lokal yang begitu akrab di lidah Jawa.
Jackie | Balaclava
SOUP JAWA SEDERHANA
1 buah wortel ukuran sedang, kupas, potong serong
1 buah kentang ukuran sedang, kupas, potong dadu
secukupnya sawi putih, potong-potong sekitar 3-4 cm
1 batang seledri batang besar, iris kasar (untuk sup dan taburan)
700 ml - 1 liter air atau kaldu sayuran (jika ada, akan lebih gurih)
Garam secukupnya atau kaldu blok
Bawang merah goreng untuk taburan (tidak punya)
Bumbu Halus:
3 siung bawang putih
1/2 sendok teh merica butiran (atau 1/4 sendok teh merica bubuk)
Sejumput kecil pala (opsional, tapi akan menambah aroma khas)
- Siapkan Bumbu: Haluskan bawang putih, merica, dan pala hingga benar-benar halus.
- Didihkan Air: Didihkan air atau kaldu sayuran dalam panci dengan api sedang.
- Tumis Bumbu (Opsional): Jika ingin aroma yang lebih kuat, panaskan sedikit minyak di wajan terpisah. Tumis bumbu halus hingga harum dan matang. Angkat, lalu masukkan ke dalam air mendidih. (Jika tidak ingin menumis, bumbu halus bisa langsung dimasukkan ke air mendidih, tapi aroma kurang kuat).
- Masukkan Sayuran Keras: Setelah air mendidih dan bumbu masuk, masukkan potongan wortel dan kentang. Masak hingga setengah empuk.
- Masukkan Sawi Putih: Tambahkan sawi putih. Masak hingga sawi putih layu dan semua sayuran empuk, tapi tidak terlalu lembek.
- Bumbui: Bumbui dengan garam dan sedikit gula pasir (jika suka) hingga rasanya pas. Koreksi rasa.
- Tambahkan Seledri: Masukkan irisan seledri batang besar. Aduk sebentar, lalu matikan api.
- Sajikan: Tuang sup ke dalam mangkuk saji. Taburi dengan bawang merah goreng.





~2.jpg)
Comments